Jika
Pagi ini, aku melangkahkan kakiku keluar rumah. Ntah mengapa, rasanya ingin kujelajahi suasana di pedesaan yang baru 1 hari menerimaku untuk menetap dan menjernihkan pikiran yang penuh dengan ekspektasi plus realita ini.
Selangkah, dua langkah, dan seterusnya, hingga pada akhirnya sampai juga di air mengalir dari atas yang jaraknya cukup dekat dengan tempat di mana aku menetap. Terdapat jembatan goyang di hadapanku saat ini, ingin kulangkahkan kakiku agar menuju lebih dekat dengan derasnya air yang jatuh itu, tetapi ada satu hal yang menurutku cukup menarik. Dialah sosok tampan nan rupawan, berkulit putih dan kupikir tingginya sekitar 170 cm, melebihi 5 cm dari tinggi badanku.
Ntah mengapa, mataku tak berkedip, dan tak terasa mulutku sedikit terbuka hingga kurasakan hembusan angin memasuki tenggorokanku. Akupun tersadar dan segera menutup mulutku seraya mengelus dada sembari mengucap 'Astaghfirullahal'adzim'. Penasaran memang, sosok tampan itu sepertinya bukanlah pemuda asli dari desa ini. Terlihat bagaimana caranya berpakaian, sama sepertiku yang berpenampilan layaknya orang kota.
Namun, aku lebih penasaran dengan air terjun yang nampak jelas di depan mataku. Sungguh, ciptaan Tuhan Yang Maha Esa memang tak mampu menandingi keindahan apapun. Akupun melangkahkan kakiku dan berniat segera melewati pemuda tersebut. Yes, hatiku bersorak. Aku berhasil melewatinya, dan kini aku tlah berada tepat di depan air yang jatuh dari atas, ya, air terjun dan bukan air hujan. Hembusan angin sekitar terasa menerpa tubuhku yang cukup mungil ini, untung saja aku tak lupa membawa jaket serta syal, karena cuaca di pedesaan masih sangat asri, hanya untuk sekadar berjaga saja jika aku hendak bereinkarnasi menjadi patung hidup.
Tak sengaja, kupeluk tubuhku sendiri, udara di sini sangatlah dingin ibarat berada di Negara Korea ketika sedang turun butiran es batu kecil, bahkan berukuran sangat kecil.
"Hai," sapa seseorang dari arah belakang.
Akupun spontan menoleh ke belakang dengan gerakan cepat, "Hai." Dan ternyata, dia yang berada di jembatan tadi, dia menyapaku. Betapa senang hatiku.
"Kenalin, aku Adam. Nama kamu siapa?" ucapnya seraya memperkenalkan diri sembari mengulurkan tangannya.
Aku langsung saja menerima uluran tangannya sebagai tanda perkenalan. "Aku Nadia. Salam kenal ya," tambahku dengan malu-malu.
Kini kutahu namanya. Ya, sosok tampan yang bikin aku penasaran tersebut bernama Adam. Setelah berkenalan tadi, Adam langsung menyelaraskan dirinya supaya tepat berada di sampingku. Mungkin, dia juga ingin menikmati suasana air terjun beserta hembusan udara yang masih sangat alami.
"Kamu orang asli sini, Nad?" tanyanya memecahkan keheningan.
Lagi-lagi aku hanya mampu menjawab, "Bukan. aku orang kota, sama kayak kamu. Aku di sini cuma pengen refreshing aja. Di kota kan berisik, udara nggak segar, banyak polusi, apalagi tawuran. Huh, kan bosan aku. Banyak dari mereka, yang tak mau bersyukur dan menikmati fasilitas gratis yang Tuhan berikan pada kita."
'Subhanallah. Nih, cewek kok menarik hati banget.' batin Adam. "Hehe, iya. Memang di kota tak seindah ketika berada di desa. By the way, kamu di sini nginep berapa hari?" tanyanya kembali.
"1 bulan Dam, lagi libur sekolah juga. Kalau kamu?" Kini, giliran aku yang bertanya.
Adam menjawab pertanyaanku dengan semangat, "wah, kita sama."
Aku hanya membalas penuturan Adam dengan senyuman termanisku.
Kedua tangan kurentangkan lebar-lebar, kunikmati oksigen gratis yang Tuhan limpahkan pada hamba-Nya yang penuh dengan dosa ini.
1 jam sudah aku berada di sini, aku tak ingin masuk angin karena terlalu lama diterpa angin. Akupun berniat untuk pamit pulang padanya, sekarang juga. Dalam hati aku berbicara 'sebenarnya tak ingin cepat pergi dari sisinya. Namun, waktu berkata lain.'
"Dam, aku mau pulang duluan ya, udah kedinginan banget nih. Bukannya refreshing, tapi ntar malah sakit," pamitku pada Adam yang terlihat sedang memandang ke arah jatuhnya air terjun itu.
"Oh, yuk! Aku antar aja Nad. Sekalian aja pulang bareng, aku juga nggak mau di sini sendirian," ajaknya kemudian.
Aku tak berniat menjawab ajakannya dengan panjang lebar. "Yaudah, terserah Dam."
Saat ini pun, aku sedang berada di air terjun kesukaanku, bersamanya. Namun, kurasakan sakit di kepalaku yang teramat sangat menyiksaku. Pandanganku tak karuan, air terjun serasa berubah menjadi banyak.
"Awww ..." rintihku.
Seketika itu, Adam menoleh ke arahku yang notabennya memang sudah mengetahui tentang penyakit kanker otak yang menyerangku ini. "Kambuh lagi, ya? Pulang aja yuk Nad, aku nggak mau kamu kenapa-kenapa nih,"
"Nggak papa, aku ingin lebih lama berada di sini sama kamu Dam. Aku takut, Tuhan akan mengambil nyawaku dengan cepat nantinya. Tak ada yang tahu, kapan kita akan kembali pada-Nya 'kan? Bukan takut untuk kembali pada-Nya, hanya saja, takut tak dapat melihatmu secara langsung seperti ini. Aku bukan takut untuk berpulang, aku udah siap untuk segera bertemu dengan-Nya. Namun, berada tepat di sampingmu sangatlah membuatku nyaman dan merasa damai," jawabku yang sedikit membuatnya heran.
"Kamu ngomong apa sih, Nad? Kamu nggak boleh ngomong kayak gitu lagi. Aku sayang sama kamu, aku cinta sama kamu, Nad. Jadi, tolong jangan ngomong kayak gitu lagi," tuturnya sembari menangkupku untuk berada dalam pelukannya yang begitu hangat.
Aku sangat merasa nyaman dan damai saat berada dalam peluknya, aku mendapatkan ketenangan sekarang. Tanpa kusadari, pandanganku terasa buram, mataku tertutup dengan lambat, kurasakan udara sekitar selagi aku bisa merasakannya. Kuhirup oksigen sebanyak mungkin agar aku tak menyesalinya karena telah menyia-nyiakan fasilitas gratis yang 'lah Tuhan berikan ini.
Saat Adam sedikit melepaskan pelukannya, ia menyadari bahwa aku tak membuka mata.
"Nad, Nadia. Bangun Nad, nggak usah bercanda kayak gini deh Nad, aku tau kok kamu juga sayang dan cinta 'kan sama aku?" tanyanya sembari mengguncangkan tubuhku, "ayo bangun Nad. Nadiaaaaaaaaaa..." Mata Adam mengeluarkan cairan bening yang membasahi area bawah matanya.
Adam mengucapkan kata terakhir padaku, yang bahkan tak dapat ku dengar kembali di alam nyata, aku mendengarkannya dalam suasana yang telah berbeda. "Nadia, jika saja aku mengenalmu dari dulu, jika saja aku mengetahui penyakitmu dari awal, jika saja semuanya belum terlambat, jika saja waktu tak akan berjalan begitu cepat ... pasti aku masih dapat melihat senyummu dan dapat memelukmu lebih lama lagi. Jika saja ..."
Kita diciptakan oleh-Nya. Kita juga akan kembali pada-Nya. Subhanallah, Maha Benar Allah dengan segala firman-Nya.
Selangkah, dua langkah, dan seterusnya, hingga pada akhirnya sampai juga di air mengalir dari atas yang jaraknya cukup dekat dengan tempat di mana aku menetap. Terdapat jembatan goyang di hadapanku saat ini, ingin kulangkahkan kakiku agar menuju lebih dekat dengan derasnya air yang jatuh itu, tetapi ada satu hal yang menurutku cukup menarik. Dialah sosok tampan nan rupawan, berkulit putih dan kupikir tingginya sekitar 170 cm, melebihi 5 cm dari tinggi badanku.
Ntah mengapa, mataku tak berkedip, dan tak terasa mulutku sedikit terbuka hingga kurasakan hembusan angin memasuki tenggorokanku. Akupun tersadar dan segera menutup mulutku seraya mengelus dada sembari mengucap 'Astaghfirullahal'adzim'. Penasaran memang, sosok tampan itu sepertinya bukanlah pemuda asli dari desa ini. Terlihat bagaimana caranya berpakaian, sama sepertiku yang berpenampilan layaknya orang kota.
Namun, aku lebih penasaran dengan air terjun yang nampak jelas di depan mataku. Sungguh, ciptaan Tuhan Yang Maha Esa memang tak mampu menandingi keindahan apapun. Akupun melangkahkan kakiku dan berniat segera melewati pemuda tersebut. Yes, hatiku bersorak. Aku berhasil melewatinya, dan kini aku tlah berada tepat di depan air yang jatuh dari atas, ya, air terjun dan bukan air hujan. Hembusan angin sekitar terasa menerpa tubuhku yang cukup mungil ini, untung saja aku tak lupa membawa jaket serta syal, karena cuaca di pedesaan masih sangat asri, hanya untuk sekadar berjaga saja jika aku hendak bereinkarnasi menjadi patung hidup.
Tak sengaja, kupeluk tubuhku sendiri, udara di sini sangatlah dingin ibarat berada di Negara Korea ketika sedang turun butiran es batu kecil, bahkan berukuran sangat kecil.
"Hai," sapa seseorang dari arah belakang.
Akupun spontan menoleh ke belakang dengan gerakan cepat, "Hai." Dan ternyata, dia yang berada di jembatan tadi, dia menyapaku. Betapa senang hatiku.
"Kenalin, aku Adam. Nama kamu siapa?" ucapnya seraya memperkenalkan diri sembari mengulurkan tangannya.
Aku langsung saja menerima uluran tangannya sebagai tanda perkenalan. "Aku Nadia. Salam kenal ya," tambahku dengan malu-malu.
Kini kutahu namanya. Ya, sosok tampan yang bikin aku penasaran tersebut bernama Adam. Setelah berkenalan tadi, Adam langsung menyelaraskan dirinya supaya tepat berada di sampingku. Mungkin, dia juga ingin menikmati suasana air terjun beserta hembusan udara yang masih sangat alami.
"Kamu orang asli sini, Nad?" tanyanya memecahkan keheningan.
Lagi-lagi aku hanya mampu menjawab, "Bukan. aku orang kota, sama kayak kamu. Aku di sini cuma pengen refreshing aja. Di kota kan berisik, udara nggak segar, banyak polusi, apalagi tawuran. Huh, kan bosan aku. Banyak dari mereka, yang tak mau bersyukur dan menikmati fasilitas gratis yang Tuhan berikan pada kita."
'Subhanallah. Nih, cewek kok menarik hati banget.' batin Adam. "Hehe, iya. Memang di kota tak seindah ketika berada di desa. By the way, kamu di sini nginep berapa hari?" tanyanya kembali.
"1 bulan Dam, lagi libur sekolah juga. Kalau kamu?" Kini, giliran aku yang bertanya.
Adam menjawab pertanyaanku dengan semangat, "wah, kita sama."
Aku hanya membalas penuturan Adam dengan senyuman termanisku.
Kedua tangan kurentangkan lebar-lebar, kunikmati oksigen gratis yang Tuhan limpahkan pada hamba-Nya yang penuh dengan dosa ini.
1 jam sudah aku berada di sini, aku tak ingin masuk angin karena terlalu lama diterpa angin. Akupun berniat untuk pamit pulang padanya, sekarang juga. Dalam hati aku berbicara 'sebenarnya tak ingin cepat pergi dari sisinya. Namun, waktu berkata lain.'
"Dam, aku mau pulang duluan ya, udah kedinginan banget nih. Bukannya refreshing, tapi ntar malah sakit," pamitku pada Adam yang terlihat sedang memandang ke arah jatuhnya air terjun itu.
"Oh, yuk! Aku antar aja Nad. Sekalian aja pulang bareng, aku juga nggak mau di sini sendirian," ajaknya kemudian.
Aku tak berniat menjawab ajakannya dengan panjang lebar. "Yaudah, terserah Dam."
***
3 minggu lebih aku menjalani waktu bersama Adam. Selama berada di desa ini, aku menghabiskan waktu bersamanya sembari jalan-jalan di tempat yang membuat kita berdua cukup memiliki kenangan indah di sini.
"Awww ..." rintihku.
Seketika itu, Adam menoleh ke arahku yang notabennya memang sudah mengetahui tentang penyakit kanker otak yang menyerangku ini. "Kambuh lagi, ya? Pulang aja yuk Nad, aku nggak mau kamu kenapa-kenapa nih,"
"Nggak papa, aku ingin lebih lama berada di sini sama kamu Dam. Aku takut, Tuhan akan mengambil nyawaku dengan cepat nantinya. Tak ada yang tahu, kapan kita akan kembali pada-Nya 'kan? Bukan takut untuk kembali pada-Nya, hanya saja, takut tak dapat melihatmu secara langsung seperti ini. Aku bukan takut untuk berpulang, aku udah siap untuk segera bertemu dengan-Nya. Namun, berada tepat di sampingmu sangatlah membuatku nyaman dan merasa damai," jawabku yang sedikit membuatnya heran.
"Kamu ngomong apa sih, Nad? Kamu nggak boleh ngomong kayak gitu lagi. Aku sayang sama kamu, aku cinta sama kamu, Nad. Jadi, tolong jangan ngomong kayak gitu lagi," tuturnya sembari menangkupku untuk berada dalam pelukannya yang begitu hangat.
Aku sangat merasa nyaman dan damai saat berada dalam peluknya, aku mendapatkan ketenangan sekarang. Tanpa kusadari, pandanganku terasa buram, mataku tertutup dengan lambat, kurasakan udara sekitar selagi aku bisa merasakannya. Kuhirup oksigen sebanyak mungkin agar aku tak menyesalinya karena telah menyia-nyiakan fasilitas gratis yang 'lah Tuhan berikan ini.
Saat Adam sedikit melepaskan pelukannya, ia menyadari bahwa aku tak membuka mata.
"Nad, Nadia. Bangun Nad, nggak usah bercanda kayak gini deh Nad, aku tau kok kamu juga sayang dan cinta 'kan sama aku?" tanyanya sembari mengguncangkan tubuhku, "ayo bangun Nad. Nadiaaaaaaaaaa..." Mata Adam mengeluarkan cairan bening yang membasahi area bawah matanya.
Adam mengucapkan kata terakhir padaku, yang bahkan tak dapat ku dengar kembali di alam nyata, aku mendengarkannya dalam suasana yang telah berbeda. "Nadia, jika saja aku mengenalmu dari dulu, jika saja aku mengetahui penyakitmu dari awal, jika saja semuanya belum terlambat, jika saja waktu tak akan berjalan begitu cepat ... pasti aku masih dapat melihat senyummu dan dapat memelukmu lebih lama lagi. Jika saja ..."
Kita diciptakan oleh-Nya. Kita juga akan kembali pada-Nya. Subhanallah, Maha Benar Allah dengan segala firman-Nya.
R.I.P
Nadia Andraini Cantika
-THE END-
Komentar
Posting Komentar